Dengan pertimbangan
bahwa al-Quran, yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf arab serta tersusun
dalam untaian kata-kata dan kalimat, merupakan media tempat carut- marutnya
tanda-tanda, maka salah satu pendekatan yang agaknya menarik dan relevan
digunakan sebagai metodologi tafsir adalah pendekatan semiotika yang mengkaji
bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks al-Quran.
Tafsir klasik konvensional seringkali dinilai hegemonik,
mendominasi, anti-konteks, status-quois, mengkungkung kebebasan, dan bahkan
menindas. Dengan tujuan untuk mencapai pemaknaan tunggal yang dianggap benar,
para ulama menuntut model tafsir yang seragam. Akibatnya, tafsir menjadi
asosial, ahumanis, terpusat pada teks, dan mengabaikan unsur-unsur di luarteks.
Saat ini, pergulatan dalam ranah kajian tafsir kontemporer menuntut
adanya suatu model tafsir yang membebaskan. Tafsir yang tidak hanya didominasi
oleh sebagian golongan tertentu, tetapi juga menampung aspirasi dan pendapat
kelompok-kelompok yang selama ini tersubordinatkan. Ini dapat dilihat dari
semakin maraknya kemunculan tafsir-tafsir yang menggunakan beragam pendekatan
baru dengan bertujuan menggoyang kemapanan tafsir konvensional, seperti
hermeneutika, pendekatan feminisme, teologi pembebasan, pendekatan sastra,
pendekatan kontekstual, dan posmodernis
Dengan pertimbangan bahwa al-Quran, yang terdiri dari rangkaian
huruf-huruf arab serta tersusun dalam untaian kata-kata dan kalimat, merupakan
media tempat carut- marutnya tanda-tanda, maka salah satu pendekatan yang
agaknya menarik dan relevan digunakan sebagai metodologi tafsir adalah
pendekatan semiotika yang mengkaji bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda
dalam teks al-Quran.
Semiotika sebagai sebuah disiplin tentang tanda, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda
lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya, dapat
digunakan untuk memahami tanda-tanda yang terdapat dalam al-Quran. Semiotika
berbeda dengan hermeneutika—ilmu tentang kebenaran makna atau makna-makna
tersembunyi di balik teks-teks yang secara literer tampak tidak memuaskan atau
dianggap superfisial.
Pendekatan hermeneutika dalam tafsir al-Quran menuntut tiga fokus
utama yang selalu dipertimbangkan, yaitu: dunia teks, pengarang, dan pembaca.
Hermeneutika berbicara mengenai hampir semua hal yang berkaitan dengan ketiga
hal tersebut. Sedangkan semiotika membahas sesuatu yang lebih spesifik. Jika
hermeneutika memberikan fokus cukup luas yang mencakup teks, pembacaan,
pemahaman, tujuan penulisan, konteks, situasi historis, dan kondisi psikologis
pembaca maupun pengarang teks. Maka, semiotika mempersempit wilayah kajian
tersebut dengan hanya memberikan fokus pembahasan hanya tentang tanda, fungsi,
dan cara kerjanya
Tokoh utama peletak dasar semiotika modern adalah Ferdinand de Saussure
(1857-1913), seorang pengajar linguistik umum di Universitas Jenewa
pada 1906. Dalam kumpulan catatan-catatan kuliahnya, Cours de Linguistique
Général (1916), Saussure memperkenalkan semiologi
atau semiotika sebagai ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem
penandaan berfungsi dan cara kerjanya
Pada perkembangan selanjutnya, semiologi ala Saussure
melahirkan lingkaran intelektual yang sangat berpengaruh antara 1950-an sampai
1960-an. Mazhab tersebut disebut strukturalisme. Tesis utama strukturalis ialah
bahwa alam dunia dapat dipahami selama kita mampu mengungkap adanya struktur
yang menjamin keteraturan, atau pola sistematika benda, kejadian, kata-kata,
dan fenomena.
Pendekatan strukturalisme melahirkan karya-karya tafsir yang tentu
saja menuntut pemaknaan tunggal. Ayat-ayat al-Quran hanya dapat diungkap oleh
satu macam arti. Alasannya adalah karena memang terdapat sistem yang mapan di
balik tanda-tanda al-Quran. Hubungan antara teks di dunia nyata dengan maknanya
di dunia ide adalah baku
dan tidak dapat diganggu gugat. Teks al-Quran sebagai penanda telah dikaitkan
dengan apa yang disebut Jacques
Lacan sebagai points de capiton,
kancing pengait. Tentu saja pertanyaan yang muncul kemudian adalah: siapakah
yang mempunyai hak untuk menetapkan point de capiton tersebut? Dan siapa pula yang menegaskan kebakuan hubungan
antara teks al-Quran dengan maknanya?
Semiotika post-strukturalis datang dengan konsep yang berkebalikan
dari gagasan strukturalisme. Post-strukturalisme mengganggap petanda yang
merupakan pusat dari struktur selalu bergeser terus-menerus. Dengan demikian,
tak ada yang disebut dengan pusat dan tak ada asal usul yang pasti. Semuanya
akan menuju ke suatu permainan petanda yang tak terbatas, karena penanda tidak
mempunyai hubungan yang pasti dengan petanda. Hubungan penanda-petanda adalah
arbriter. Menurut
Roland Barthes,
petanda selalu mempunyai banyak arti (plus de sens). Tak ada hubungan intern
antara konsep yang ditunjukkan dengan bunyi yang menunjukkannya, sehingga tak
ada petanda yang pasti bagi penanda. Penanda bersifat polisemi, bermakna ganda,
dan petanda dapat bergeser terus menerus dari penandanya.
Jacques Derrida, seorang filosof aliran post-strukturalis, menyebutkan bahwa tak
ada perbedaan eksistensial di antara berbagai jenis literatur yang berlainan.
Semua naskah memiliki ambiguitas fundamental yang merupakan akibat dari sifat
natural bahasa itu sendiri. Begitu juga dengan al-Quran. Derrida bersikukuh
bahwa ada banyak cara untuk membaca
dan memahami teks. Makna teks tidak lagi sama dengan apa yang dikehendaki oleh
si pengarang. Yang tercatat dalam naskah bisa menimbulkan “multiple-
understanding” (keragaman pemahaman) pada saat yang sama.
Keinginan Derrida adalah membebaskan naskah. Naskah harus dibebaskan dari usaha
pemaknaan tunggal resmi yang mungkin dikonstruk oleh budaya hegemonik atau oleh
struktur-struktur kelembagaan formal yang menegaskan bentuk-bentuk wacana
diskursif. Untuk tujuan tersebut, Derrida memperkenalkan konsep “dekonstruksi”
yang memiliki tugas membebaskan naskah, mengembangkan dan mengungkap ambiguitas
terpendam, menunjukkan kontradiksi internal, dan mengidentifikasi kelemahannya.
Hal ini adalah kondisi yang selalu mungkin (condition of possibilities) yang
terdapat pada teks.
Condition of possibilities merupakan kata kunci untuk memahami
naskah al-Quran. Pada dasarnya, apakah yang sebenarnya berlaku dalam tafsir?
Adakah struktur dibalik teks atau tidak. Jika memang teks dibangun di atas
seperangkat sistem yang teratur, mengapa kemudian lumrah terjadi keberagaman
pemahaman. Bahkan para sahabat pun kerapkali berselisih paham mengenai
persoalan-persoalan keagamaan, terutama tafsir al-Quran.
Berkaitan dengan condition of possibilities teks yang berpotensi
menimbulkan multi-pemahaman, Umberto
Eco menyarankan agar bahasa
diperlakukan seperti ensiklopedia yang selalu dinamis, terbuka, dan
memungkinkan masuknya entry-entry baru. Tidak seperti kamus yang mirip “pohon
porphyri” (model definisi, terstruktur melalu genre, spesies, dan pembeda).
Eco menunjukkan adanya perbedaan antara struktur kamus dan struktur
ensiklopedia. Dalam linguistik konvensional, bahasa merupakan sebuah sistem
yang statis dan tertutup. Model kamus pada bahasa tidak mampu menangani,
meminjam istilah Peirce, “semiosis tak
terbatas”—hasil dari fakta bahwa tanda dalam bahasa terkait dengan tanda-tanda
lain, dan suatu naskah selalu menawarkan kesempatan penafsiran yang tak
terhingga banyaknya. Sebaliknya, ensiklopedia akan sesuai dengan suatu jaringan
tanpa pusat yang darinya tidak terdapat jalan keluar, atau jalan ke suatu model
tak berhingga yang memberi kesempatan bagi unsur-unsur baru.
Agar bisa berfungsi dengan baik sebagai jaringan kata-kata yang
memberikan kesempatan munculnya makna-makna baru, maka bahasa harus menjadi
sistem dinamis yang terbuka dan mirip dengan ensiklopedia.
Begitu pula dengan tafsir. Pemaknaan ayat-ayat al-Quran yang disusun
seperti struktur kamus sudah pasti akan menghasilkan sebuah sistem yang
eksklusif, bersifat hegemonik, dan status-quois. Maka, alangkah baiknya jika
pemaknaan al-Quran dilandasi oleh semangat ensiklopedia yang terbuka, inklusif,
dinamis, dan memberikan kesempatan bagi pembebasan, baik pembebasan bagi makna
itu sendiri maupun bagi masyarakat yang merasakan dampak positifnya secara
langsung.
#Sumber komputer kakang :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar