Senin, 02 Februari 2015

KONTRIBUSI PENDIDIKAN ISLAM DALAM MENCIPTAKAN MASYARAKAT MADANI


 

PRAWACANA

Islam adalah sebuah tatanan bangunan kemanusiaan yang berdimensi ganda. Pertama, dimensi yang bersifat langit (dimensi samawiyah) dan yang kedua dimensi yang akarnya menghujam teguh di di dalam dan di atas bumi (dimensi ardiyah). Dimensi yang pertama dan ke dua tidak bias dipisahlan datu dengan yang lainnya, ibarat setali mata uang. Untuk menggapai dimensi yang pertama, maka terlebih dahulu memulai langkah awal dimensi yang kedua dan bagaimana agar gerak langkah dimensi ke dua ini tidak terjerat maupun terperangkap dalam dimensi samawiyah yang sehingganya kita seringkali terperdaya oleh bius surgawi yang padahal semua jenis kesenangan tidak akan bias diperoleh tanpa menginjakkan kaki dengan cara yang baik dan benar sesuia dengan kaidah maupun tuntunan yang telah digariskan Sang Khaliqnya dalam dimensi yang pertama.
Salah satu bentuk riil di antara dunia dimensi tersebut saling terkait dan terpaut erat bahwasannya Allah SWT. menurunkan peraturan dalam bentuk agama di muka bumi ini tidak ada lain tujuannya hanya untuk menyelamatkan ummat manusia dari kerusakan dan pertumpahan darah (QS. 2:30) dan menata kehidupan yang dinamis, harmonis, sehingga manusia merasa betah dan nyaman unutk tinggal di dalamnya (QS. 21:107).
Berbicara kontribusi pendidikan Islam berarti tidak akan perlepas dari pembicaraan Islam sebagai sebuah agama yang kita yakini kebenarannya. Agama bukan saja Islam merupakan sebuah kebutuhan esensi bagi setiap kehidupan manusia dan agama inilah yang kelak sanggup bias merubah wajah dunia (world views), khususnya yang berdimensi ontologis. Oleh karenanya doktrin agama yang paling tegas dan bersifat fundamental bahwa salah satu missi diciptakannya manusia di muka bumi ini adalah untuk menjadi khalifah (mandataris) Allah di muka bumi dan setelahnya itu baru Abdullah. Untuk menjadikan manusia sebagai khalifah maupun Abdullah, Allah terlebih dahulu memberikan kayakinan melalui Kitab Suci-Nya mengenai norma dan keyakinan dan nilai-nilai suci yang seharusnya dijadikan kerangka dasar bagi semua aktivitas maupun langkah tindakan manusia itu sendiri. Banyak para ahli futorolog seperti John Neisbit dan Toffler mengatakan bahwa abad ke 20 merupakan abad kebangkitan agama. Namun pertanyaan nya adalah kebangkitan agama yang model apa atau bagaimana yang akan terjadi  pada masa depan jika ekelak agama yang digandrungi oleh ummat mansusia tidak dibangaun di atas, norma-nirma kemanusiaan. Kaslau kita set beck ke belakang sejak mansuai diciptalan agama dengan sendirinya ti bul dan bangkit sealur dengan kebutuhan fitri manusia pertama pada saat itu. Inilah mungkin yang kata Will Durant, seorang yang tidak pernah memperayai agama manapun yang ada di dunia ini, mrngstsksn dalam bahasannya mengenaui sejarag dan agam,a: “aga,a mempunyao seratsus jiwa. Segala sesuatu bila telah terbunuh, pada kali pertama itupun ia sudah mati untu selama-lamanya, kecuali agama. Sekirantya ia seratus kali di bunuh, ia akan muncul lagi dan akan kembali hidup setelahnya itu”.[1]
Oleh karenya sambung Durant bahwa agama pada hakekatnya memiliki dua keistimewaan. Pertama, ia sendiri merupakan kebutuhan fitri dan emosional manusia dan yang kedua  merupakan satu-satunya sarana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan fitri manusia yang tak sesuatupun dapat menggantikan kedudukannya.
Bagi orang orientalis seperti Will Durant di atas bahwa agama akan terbangu yuang disebbakan oleh tiga hal :
1.       Agama terbangun karea produk rasa takut. Rasa takut manusia dari alam, dari gelegarnya suara halilintar manakala musim hujan dating yang dapat menggetrarkan dan sekaligus menggibdcang jiwa manusia. Sebagai akibat dari adanya rasa yakut tersebut , mala ter;intaslah agama dalam benak manusia;
2.       Agama adalah produk kebodoan seoang manusia. Keboidohan di sini disebabkan krena adanya rasa oputus asa yang ada pada disiri seotang manusia manakala  menemukan berbagai macam feniomena alam dan pada saat yang bersamaan belum bias ditemukan secatra scientific, ia lalu menisbahklan hal tersebut [pada sesuatu hal yang bersifat metafisis.
3.       Adanya pendambaan terhadap rasa keadlan dan ketentraman. Secara naluriah tidak terkecuali manusia model manapun dan berwearna kulit apapun tetap akan mendambakan yang namanya keaduilan dan rasa ketentraman dalam menjalankan kehidupannya. Terkadang dari ke[picikan sebuah pemikiran manusia menilai rasa keaduilan dan ketentraman dinilai dari sesuatu yang hanya dapat membahagiakan dirinya semata, tapi manakala rasa kebhagiaan itu dipandang tidak berpihaka kepadanya misalnya ketika sseseotan g mengalami sakit, atau terjerat dalam sebuah permasalahan yang akan mengancam jiwanya, pada saat yang sama dia pasti akan mencari seuatu yang dijadian sebagai dewa penolong sehingga diharpkan kelak ia dapat terhiondar dari rasa ketakutkan yang hendak emenimpa pada dirinya. Ini;ah yang setong dikatakan oleh para psikolog agama sering dijadikan sebagai tempat pelarian bukan kebutuhan.
Sekilas pandangdari ketiga hipotesis tersebuty di atas, peran agama dengan sendirnya akan menghilang manakala kemajuan teknlogi manusia sudah berada pada ambang puncaknya. Utntuk itun mereka menyeruka untuk segera menabuh gendering ilmu pengetahuan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam segala aspeknya.

Ketika pada masa awal Islam, suatu lembaga pendidikan setingkat dengan Madrasah Ibitidaiyah/Sekolah Dasar dinamakan Al-Kuttab, yaiutu sebuah institusi lembaga pendidkan Islam yang programnya terfokus pad abaca-tulis Al-Qur’an dan sedikit dasar-dasar agama. Selanjutnya pada masa dinasti Umayah (71-12 H/690-743 M), didirikanlah sebuah Universitas islam pertama pada tahu \n 116 H oleh seorang Gubernur yang bernama H. Abfdullah bin al-Habbab pada masa pemerintah Hisyam bin Abdul Malik, di saat seorang Gubernur berkunjung ke Tunis atas perintah sang Khaliah, lalu ia membangun mMasjid Jami’ dan pusat industry perkapalan, dan inilah yang elak menjadi cikal bakal timbulnya Universitas Al-Zaituniyah. Dari Universitas inilah lahir cikal bakal para pemikir Islam termasuk yang menjelaskan pemikiran –pemikiran Iamam Malik, seperti halnya Ali bin Ziyad an seorang muridnya yang bernama Sahnun yang kemudian menjadi seorang ulama besar tunis juga berguru dan ditempa dalam perguruan tersebut.[2]







[1] Murtadha Muthahhari, Perspektif Al-Qur’an tentang manusia dan agama, Mizan : Bandung, 1995, h. 41.
[2] Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi Al-Qur’an dan dinamika Masyarakat, Lentera hati, Jakarta, 2006. H. 106-108.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar