Minggu, 29 Maret 2015

PELAJARAN HIDUP......



Bahagiakah pasangan yg menikah hanya krn cinta? Barangkali kisah ini bisa menjadi renungan bagi kita, utamanya yang ingin berumah tangga : 
 
Alkisah, seorang pemuda miskin bernama kiJaed, berasal dari desa peloksok, Banten. Keluarganya hanyalah keluarga sederhana, kalau tidak bisa disebut miskin. Ayahnya sehari-hari bekerja sebagai tukang jahit Keliling di desanya.

Karena kegigihannya, kijaed berhasil kuliah di Fakultas Ekonomi Islam IAIN Banten walaupun dengan biaya seadanya. Semasa semester 4 di kampus, Yogi jatuh hati pada seorang gadis
bernama Hindun, juga sama-sama kuliah di IAIN Banten namun beda Fakultas (Fakutas Tarbiyah dan Adab).

Hindun adalah putri seorang Konglomerat dan bupati ternama di daerah Banten. Walaupun secara ekonomi mereka jauh berbeda, namun tidak menghalangi keduanya untuk saling mencintai.

Ayah Hindun yang mengetahui putrinya begitu mencintai pemuda dari keturunan biasa, tak mampu mencegah gelora cinta putrinya. Maka begitu keduanya telah lulus, pernikahan keduanyapun diselenggarakan dengan megah. Pesta besar-besaran digelar untuk mengiringi pernikahan putrinya.

Ayah Kijaed yang tak punya banyak harta, hanya bisa memberikan bantuan sumbangan pakaian, sprei, sarung bantal, yang semuanya ia buat dan ia jahit sendiri khusus untuk pernikahan putranya.

Bahagiakah Hindun bersanding dengan Kijaed ? Ternyata kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama.

Tibalah saatnya malam pengantin baru tiba. Mereka berduapun memasuki peraduan dengan bahagia. Namun, ketika Kijaed membuka pakaiannya dan tinggal memakai celana kolor, berteriaklah Hindun dengan keras, sebelum akhirnya pingsan tak sadarkan diri. Semua penghuni rumah dari kerabat dan keluarga Hindun pun berdatangan melihat kejadian itu.

Kijaed masih dalam kebingungan dan mencari tahu kenapa istrinya histeris dan pingsan. Dilihatnya celana kolor yang ia pakai. Aduh, Kijaed lupa kalau celana kolor itu jahitan ayahnya, dibuat dari kain bekas wadah tepung terigu.

Di tengah celana kolor itu masih terpampang jelas tulisan, "BERAT BERSIH 25 KG".

Tentu saja Hindun langsung pingsan melihatnya. Hindun tidak bisa membayangkan seberapa besar isinya dengan berat segitu.

Jangan terlalu serius dong bacanya............

tulisan ini di dapat dari tumpukan File komputer keluarga dan ada sdikit perubahan pada nama dan tempat terima kasih sudah mengunjungi Blog ini semoga terhibur,ceria selalu dan pastinya keberkahan selalu ada untuk kita semua amiennn...

Selasa, 03 Maret 2015

Telaah Kritis Konsep Aswaja


 
Konsep Jama’ah bisa memberikan justifikasi religius bagi partisipasi masyarakat Indonesia dalam kerangka bernegara dan berbangsa. Mengaku dirinya sebagai penganut Ahlussunnah wal-Jama’ah, mereka berikrar kepada Tuhannya bahwa mereka akan mengabdikan diri, selain pada realisasi nilai-nilai luhur yang ada dalam Sunnah Nabi, juga pada pembangunan Jama’ah. Kalau Jama’ah di Indonesia berantakan, kalau orang tidak peduli lagi dengan nasib kebanyakan orang, dan kalau orang meruksak masa depan orang kebanyakan, berarti klaim mereka sebagai penganut Ahlussunnah wal-Jama’ah patut dipertanyakan.

Kata-kata “Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah,” atau bisa juga ditulis “Ahlussunnah wal-Jama’ah (Aswaja),” sudah lama dan berulangkali muncul di langit Indonesia. Lebih dari 70 tahun yang lalu NU mendeklarasikan dirinya sebagai penganut Ahlussunnah wal-Jama’ah. Demikian halnya Muhammadiyah, kelompok yang biasanya dipersebrangkan dengan NU. Orang-orang Islam di luar kedua ormas ini pada umumnya juga menyebut dirinya sebagai penganut Ahlussunnah wal-Jama’ah. Gerakan Shi’ah di Indonesia dilawan dengan slogan Ahlussunnah wal-Jama’ah.

Shi’ah ditolak karena bertentangan dengan prinsip-prinsip Ahlussunnah wal-Jama’ah. Terakhir ada kelompok yang “berjihad” ke Ambon dan Poso menamakan dirinya Laskar Jihad Ahlsunnah wal-Jama’ah. Tetapi apa sesungguhnya Ahlussunnah wal-Jama’ah itu?
Secara literal Ahlussunnah wal-Jama’ah berarti “Pendukung Sunnah (Nabi Saw) dan Jama’ah.” Para pendukungnya adalah orang-orang yang menjadikan Sunnah Nabi Saw dan Jama’ah sebagai tiang utama bangunan keislaman mereka. Hilang salah satu dari keduanya, bangunan Islamnya goyang, bahkan bisa jadi hancur. Dengan kata lain, orang yang tidak mengikuti Sunnah atau orang yang tidak mengikuti Jama’ah, atau keluar dari Jama’ah, maka dia bukan lagi bagian dari masyarakat Islam.

Penekanan pada Sunnah tidak berarti penafian terhadap al-Qur’an. Al-Qur’an adalah sumber Islam yang utama. Semua orang Islam dari semua golongan mengakui ini. Tapi isi al-Qur’an begitu umum sehingga tidak cukup untuk dijadikan rujukan dalam penyelesaian detil permasalahan yang dihadapi masyarakat sekarang. Belum lagi persoalan perbedaan penafsiran.
Semakin umum suatu pedoman semakin terbuka untuk ditafsirkan. Maka Khalifah Ali (pemimpin keempat umat Islam sepeningal Nabi Saw), waktu mengirim utusannya menghadapi Khawarij, kelompok yang memisahkan diri dari Ali dan tidak mau mengakui pemerintahannya, wanti-wanti untuk tidak menjadikan al-Qur’an sebagai dasar untuk berargumen dan untuk memperoleh kembali dukungan mereka. “Al-Qur’an itu terlalu umum sehingga apapun yang kamu sampaikan akan ada bantahannya yang juga diambilkan dari al-Qur’an. Berargumenlah dengan Sunnah,”demikian Ali. Jadi walaupun al-Qur’an adalah sumber utama ajaran Islam, pada prakteknya Sunnah inilah yang paling sering dirujuk.
Setelah Sunnah, otoritas yang bisa menjelaskan al-Qur’an dan sekaligus menjadi pedoman masyarakat Muslim adalah Jama’ah. Ketika masih hidup, tentu saja Nabilah yang menjalankan fungsi penjelas wahyu dan pedoman umat ini. Sepeninggalnya, masyarakat Muslim terbagi menjadi dua kelompok: Sunni dan Shi’i. Bagi kelompok Shi’ah, sepeninggal Nabi Saw otoritas jatuh ke tangan turunan Nabi lewat Fatimah dan Ali. Kepemimpinan lalu diwariskan secara turun menurun. Imam, turunan Nabi Saw pemegang otoritas itu, menempati posisi yang sangat penting dalam tradisi Shi’ah.
Bagi orang Sunni, sepeninggal Nabi otoritas jatuh ke tangan masyarakat Islam, yang disebut Jama’ah. Jama’ahlah yang menjdi ‘wakil’ Tuhan di bumi. Jama’ahlah yang menentukan siapa yang akan memegang otoritas politik dan agama. Pemimpin umat dipilih oleh Jama’ah. Keputusan-keputusan apapun yang menyangkut masyarakat Muslim ditentukan oleh Jama’ah lewat musyawarah.
Hasil putusan Jama’ah disebut Ijma’. Sekali diputuskan, Ijma menjadi sumber hukum yang harus diikuti oleh semua anggota Jama’ah. Umar pernah mengatakan bahwa “Tangan Allah itu di atas Jama’ah.” Apa yang baik menurut Jama’ah pasti baik menurut Tuhan. Orang Islam yang keluar dari Jama’ah dianggap bukan Islam. “Barang siapa yang meninggal dalam keadaan lepas dari Jama’ah, maka matinya adalah mati Jahiliyyah,” demikian kata Nabi. Jahiliyyah adalah keadaan seseorang atau suatu masa sebelum Islam.
Konsep Jama’ah bisa memberikan justifikasi religius bagi partisipasi masyarakat Indonesia dalam kerangka bernegara dan berbangsa. Mengaku dirinya sebagai penganut Ahlussunnah wal-Jama’ah, mereka berikrar kepada Tuhannya bahwa mereka akan mengabdikan diri, selain pada realisasi nilai-nilai luhur yang ada dalam Sunnah Nabi, juga pada pembangunan Jama’ah. Kalau Jama’ah di Indonesia berantakan, kalau orang tidak peduli lagi dengan nasib kebanyakan orang, dan kalau orang meruksak masa depan orang kebanyakan, berarti klaim mereka sebagai penganut Ahlussunnah wal-Jama’ah patut dipertanyakan.
Identifikasi yang sangat jelas antara Jama’ah dengan Islam ada pada masa Nabi. Waktu menyeru kepada Islam, Nabi kadadang-kadang mengggunakan kata-kata “Masuklah Anda ke Jama’ah.” Maksudnya, masuklah Anda ke dalam Islam. Tetapi perlu diingat bahwa Madinah pada masa Nabi juga dihuni kalangan non-Muslim (antara lain, Yahudi). Pembuatan Piagam Madinah, sebuah dokumen yang berisi hak dan kewajiban masing-masing angggota masyarakat Madinah, tentu saja melibatkan kelompok-kelompok non-Muslim. Analisa terhadap dokumen itu menunjukkan bahwa piagam ini tidak dibuat sekali jadi, tetapi dalam beberapa tahapan melalui negosiasi yang alot.
Sebagai produk dari sebuah negosiasi, tidak semua apa yang ditulis di dalam dokumen itu sesuai dengan keinginan Nabi dan orang-orang Islam. Nabi, misalnya, dalam dokumen itu tidak meletakkan dirinya sebagai pemimpin agama, tetapi lebih sebagai kepala suku. Demikian juga, tidak semua kepentingan orang-orang non-Muslim diakomodasi oleh dokumen tersebut. Masing-masing bergeser dari posisi awal dan berusaha menemukan kesepakatan.
Berasal dari bahasa Arab, jama’ah berarti ‘persatuan’atau ‘kebersamaan.’ Sembahyang berjama’ah artinya sembahyang bersama-sama. ‘Ijma’ adalah keputusan bersama. Menekankan aspek kebersamaan, Jama’ah lebih dari sekedar persoalan mayoritas minoritas, sehingga simple majority bukanlah mekanisme yang diadopsi untuk memperolah keputusan. Ia adalah instrumen dimana hubungan kemanusiaan, pengakuan adanya perbedaan, partisipasi semua pihak, dan kelegaan bersama dipelihara. Kebersamaan tidak dicapai dengan cara menghilangkan kelompok lain, tetapi dengan cara dialog.
Membangun Jama’ah adalah membangun dialog dan melakukan negosiasi. Dan, perlu diingat, ini adalah Sunnah Nabi Saw.

Sumber, Artikel tetangga :D

Senin, 02 Februari 2015

Eksistensi Nilai

sebelum istirahat malam (kalo orang banten mah tilem atanpi sareh) kebiasaan saya pasti selalu berfikir tentang sesuatu. Entah itu tentang sawah-sawah yang mulai sulit mendapatkan air bersih (seluruh sungai di daerah tirtayasa pontang tanara sudah di cemari limbah) :'( , tentang bagaimana caranya saya bisa membeli mobil lamborghini :D atau tentang bisul tumbuh subur di hidung sya yang memang tak mancung hehehe babeh iwan lagi aja inimah, yah kembali lagi semua itu mempunyai nilai tersendiri jika temen teman atau kawan kawin eh kawan maksudnya (maklum bujang) juga melakukannya. oke next Sebelum berbicara lebih jauh tentang nilai dalam tiap sudut pandang kehidupan manusia, terlebih dahulu disini saya coba jelaskan atau mendefinisikan nilai agar tidak menimbulkan kesalah pahaman sejauh yang saya ketahui tentang arti dan maksud daripada nilai secara umum.

“Nilai” atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “Value” secara bahasa ia juga berarti harga, harga akan sesuatu yang kita lihat atau kita rasakan dengan panca indra, sebesar atau sekecil apapun ia bagi manusia ia tetap akan dirasakan berproses dari panca indra kemudian di cerna oleh akal lalu disimpulkan makna sesuatu tersebut,hal atau sebab apa yang membuat ia bernilai sesuatu, misalnya seorang anak kecil, orang akan berpikir jikalau orang itu bertubuh kecil suka bermain main, belum bisa membedakan mana itu hal yang baik dan mana yang buruk, berbicara selalu terbuka dan apa adanya, polos dan masih mudah untuk dibentuk kearah yang positif atau negatif, itulah yang disebut dengan anak kecil.

Dalam bahasa arab “Nilai” dikenal dengan istilah “Qiimatun” secara bahasa iapun juga sama berarti nilai atau harga, jadi dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang bernilai adalah sesuatu yang berharga dan sesuatu yang beraharga berarti sesuatu yang memiliki makna. Nilai adalah sesuatu yang mempunyai makna atau arti tertentu dalam diri seseorang dan oleh karena itu menarik bagi manusia dan memiliki arti bagi orang yang bersangkutan.

Menurut Jalaluddin Rummi nilai itu bersifat konstan,universal dan absolut, akan tetapi menurutnya ada juga nilai yang secara konstan dapat mengalami perubahan, ia juga menambahkan sambil mencontohkan bahwa suatu kejahatan tak ada yang absolut. Karna tuhan tidak menciptakan kejahatan(I) hal ini ia nyatakan dalam bait-baitnya  berikut.

Karena itu tak ada kejahatan yang absolut didunia ini, kejahatan selalu relatif. Ketahuilah wahai kawan. Racun adalah kehidupan bagi ular, (Tetapi) itu merupakan kematian bagi manusia. Laut adalah taman bagi makhluk air sedang bagi makhluk daratan ia adalah kematian dan siksaan.”

Dari bait bait diatas Rumi seperti yang ia tulis mencoba menjelaskan bahwa nilai yang muncul dari manusia adalah sesuatu yang dapat berubah ubah menurut waktu, tempat dan kondisi lingkungan yang merasakan sesuatu itu sendiri, perbuatan atau laku disatu tempat boleh jadi dikatakan suatu kejahatan tapi ditempat lain hal itu mungkin akan dikatakan kebaikan, begitu pula dengan kebaikan disatu masa atau zaman ia merupakan hal yang baik tetapi dikemudian hari atau dimasa masa selanjutnya boleh jadi ia akan dikatakan sebuah tindak kejahatan, tak ada yang absolut semua relatif dan seperti yang tertulis diatas menurut waktu dan kondisi lingkungan yang melakukan dan menilainya.

Hal seperti itu terjadi karena memang akal manusia akan terus berkembang dan terus mencari pengetahuan baru, dan memang harus diakui bahwa manusia adalah makhluk yang ridak pernah puas dengan apa yang ia dapat dan ketahui oleh karena itulah nilai yang muncul atau yang datang dari manusia selalu berubah ubah dan tidak tetap.

Semongko saking kula :D Alhaqqu min rabbika falatakuunanna minalmumtariin

Semiotika Alquran yang Membebaskan



Dengan pertimbangan bahwa al-Quran, yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf arab serta tersusun dalam untaian kata-kata dan kalimat, merupakan media tempat carut- marutnya tanda-tanda, maka salah satu pendekatan yang agaknya menarik dan relevan digunakan sebagai metodologi tafsir adalah pendekatan semiotika yang mengkaji bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks al-Quran.

Tafsir klasik konvensional seringkali dinilai hegemonik, mendominasi, anti-konteks, status-quois, mengkungkung kebebasan, dan bahkan menindas. Dengan tujuan untuk mencapai pemaknaan tunggal yang dianggap benar, para ulama menuntut model tafsir yang seragam. Akibatnya, tafsir menjadi asosial, ahumanis, terpusat pada teks, dan mengabaikan unsur-unsur di luarteks.
Saat ini, pergulatan dalam ranah kajian tafsir kontemporer menuntut adanya suatu model tafsir yang membebaskan. Tafsir yang tidak hanya didominasi oleh sebagian golongan tertentu, tetapi juga menampung aspirasi dan pendapat kelompok-kelompok yang selama ini tersubordinatkan. Ini dapat dilihat dari semakin maraknya kemunculan tafsir-tafsir yang menggunakan beragam pendekatan baru dengan bertujuan menggoyang kemapanan tafsir konvensional, seperti hermeneutika, pendekatan feminisme, teologi pembebasan, pendekatan sastra, pendekatan kontekstual, dan posmodernis
Dengan pertimbangan bahwa al-Quran, yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf arab serta tersusun dalam untaian kata-kata dan kalimat, merupakan media tempat carut- marutnya tanda-tanda, maka salah satu pendekatan yang agaknya menarik dan relevan digunakan sebagai metodologi tafsir adalah pendekatan semiotika yang mengkaji bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks al-Quran.
Semiotika sebagai sebuah disiplin tentang tanda, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya, dapat digunakan untuk memahami tanda-tanda yang terdapat dalam al-Quran. Semiotika berbeda dengan hermeneutika—ilmu tentang kebenaran makna atau makna-makna tersembunyi di balik teks-teks yang secara literer tampak tidak memuaskan atau dianggap superfisial.
Pendekatan hermeneutika dalam tafsir al-Quran menuntut tiga fokus utama yang selalu dipertimbangkan, yaitu: dunia teks, pengarang, dan pembaca. Hermeneutika berbicara mengenai hampir semua hal yang berkaitan dengan ketiga hal tersebut. Sedangkan semiotika membahas sesuatu yang lebih spesifik. Jika hermeneutika memberikan fokus cukup luas yang mencakup teks, pembacaan, pemahaman, tujuan penulisan, konteks, situasi historis, dan kondisi psikologis pembaca maupun pengarang teks. Maka, semiotika mempersempit wilayah kajian tersebut dengan hanya memberikan fokus pembahasan hanya tentang tanda, fungsi, dan cara kerjanya
Tokoh utama peletak dasar semiotika modern adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913), seorang pengajar linguistik umum di Universitas Jenewa pada 1906. Dalam kumpulan catatan-catatan kuliahnya, Cours de Linguistique Général (1916), Saussure memperkenalkan semiologi atau semiotika sebagai ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi dan cara kerjanya
Pada perkembangan selanjutnya, semiologi ala Saussure melahirkan lingkaran intelektual yang sangat berpengaruh antara 1950-an sampai 1960-an. Mazhab tersebut disebut strukturalisme. Tesis utama strukturalis ialah bahwa alam dunia dapat dipahami selama kita mampu mengungkap adanya struktur yang menjamin keteraturan, atau pola sistematika benda, kejadian, kata-kata, dan fenomena.
Pendekatan strukturalisme melahirkan karya-karya tafsir yang tentu saja menuntut pemaknaan tunggal. Ayat-ayat al-Quran hanya dapat diungkap oleh satu macam arti. Alasannya adalah karena memang terdapat sistem yang mapan di balik tanda-tanda al-Quran. Hubungan antara teks di dunia nyata dengan maknanya di dunia ide adalah baku dan tidak dapat diganggu gugat. Teks al-Quran sebagai penanda telah dikaitkan dengan apa yang disebut Jacques Lacan sebagai points de capiton, kancing pengait. Tentu saja pertanyaan yang muncul kemudian adalah: siapakah yang mempunyai hak untuk menetapkan point de capiton tersebut? Dan siapa pula yang menegaskan kebakuan hubungan antara teks al-Quran dengan maknanya?
Semiotika post-strukturalis datang dengan konsep yang berkebalikan dari gagasan strukturalisme. Post-strukturalisme mengganggap petanda yang merupakan pusat dari struktur selalu bergeser terus-menerus. Dengan demikian, tak ada yang disebut dengan pusat dan tak ada asal usul yang pasti. Semuanya akan menuju ke suatu permainan petanda yang tak terbatas, karena penanda tidak mempunyai hubungan yang pasti dengan petanda. Hubungan penanda-petanda adalah arbriter. Menurut Roland Barthes, petanda selalu mempunyai banyak arti (plus de sens). Tak ada hubungan intern antara konsep yang ditunjukkan dengan bunyi yang menunjukkannya, sehingga tak ada petanda yang pasti bagi penanda. Penanda bersifat polisemi, bermakna ganda, dan petanda dapat bergeser terus menerus dari penandanya.
Jacques Derrida, seorang filosof aliran post-strukturalis, menyebutkan bahwa tak ada perbedaan eksistensial di antara berbagai jenis literatur yang berlainan. Semua naskah memiliki ambiguitas fundamental yang merupakan akibat dari sifat natural bahasa itu sendiri. Begitu juga dengan al-Quran. Derrida bersikukuh bahwa ada banyak cara untuk membaca dan memahami teks. Makna teks tidak lagi sama dengan apa yang dikehendaki oleh si pengarang. Yang tercatat dalam naskah bisa menimbulkan “multiple- understanding” (keragaman pemahaman) pada saat yang sama.
Keinginan Derrida adalah membebaskan naskah. Naskah harus dibebaskan dari usaha pemaknaan tunggal resmi yang mungkin dikonstruk oleh budaya hegemonik atau oleh struktur-struktur kelembagaan formal yang menegaskan bentuk-bentuk wacana diskursif. Untuk tujuan tersebut, Derrida memperkenalkan konsep “dekonstruksi” yang memiliki tugas membebaskan naskah, mengembangkan dan mengungkap ambiguitas terpendam, menunjukkan kontradiksi internal, dan mengidentifikasi kelemahannya. Hal ini adalah kondisi yang selalu mungkin (condition of possibilities) yang terdapat pada teks.
Condition of possibilities merupakan kata kunci untuk memahami naskah al-Quran. Pada dasarnya, apakah yang sebenarnya berlaku dalam tafsir? Adakah struktur dibalik teks atau tidak. Jika memang teks dibangun di atas seperangkat sistem yang teratur, mengapa kemudian lumrah terjadi keberagaman pemahaman. Bahkan para sahabat pun kerapkali berselisih paham mengenai persoalan-persoalan keagamaan, terutama tafsir al-Quran.

Berkaitan dengan condition of possibilities teks yang berpotensi menimbulkan multi-pemahaman, Umberto Eco menyarankan agar bahasa diperlakukan seperti ensiklopedia yang selalu dinamis, terbuka, dan memungkinkan masuknya entry-entry baru. Tidak seperti kamus yang mirip “pohon porphyri” (model definisi, terstruktur melalu genre, spesies, dan pembeda).
Eco menunjukkan adanya perbedaan antara struktur kamus dan struktur ensiklopedia. Dalam linguistik konvensional, bahasa merupakan sebuah sistem yang statis dan tertutup. Model kamus pada bahasa tidak mampu menangani, meminjam istilah Peirce, “semiosis tak terbatas”—hasil dari fakta bahwa tanda dalam bahasa terkait dengan tanda-tanda lain, dan suatu naskah selalu menawarkan kesempatan penafsiran yang tak terhingga banyaknya. Sebaliknya, ensiklopedia akan sesuai dengan suatu jaringan tanpa pusat yang darinya tidak terdapat jalan keluar, atau jalan ke suatu model tak berhingga yang memberi kesempatan bagi unsur-unsur baru.
Agar bisa berfungsi dengan baik sebagai jaringan kata-kata yang memberikan kesempatan munculnya makna-makna baru, maka bahasa harus menjadi sistem dinamis yang terbuka dan mirip dengan ensiklopedia.
Begitu pula dengan tafsir. Pemaknaan ayat-ayat al-Quran yang disusun seperti struktur kamus sudah pasti akan menghasilkan sebuah sistem yang eksklusif, bersifat hegemonik, dan status-quois. Maka, alangkah baiknya jika pemaknaan al-Quran dilandasi oleh semangat ensiklopedia yang terbuka, inklusif, dinamis, dan memberikan kesempatan bagi pembebasan, baik pembebasan bagi makna itu sendiri maupun bagi masyarakat yang merasakan dampak positifnya secara langsung.


#Sumber komputer kakang :D