Konsep
Jama’ah bisa memberikan justifikasi religius bagi partisipasi masyarakat
Indonesia dalam kerangka bernegara dan berbangsa. Mengaku dirinya sebagai
penganut Ahlussunnah wal-Jama’ah, mereka berikrar kepada Tuhannya bahwa mereka
akan mengabdikan diri, selain pada realisasi nilai-nilai luhur yang ada dalam
Sunnah Nabi, juga pada pembangunan Jama’ah. Kalau Jama’ah di Indonesia
berantakan, kalau orang tidak peduli lagi dengan nasib kebanyakan orang, dan
kalau orang meruksak masa depan orang kebanyakan, berarti klaim mereka sebagai
penganut Ahlussunnah wal-Jama’ah patut dipertanyakan.
Kata-kata “Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah,” atau bisa juga ditulis “Ahlussunnah wal-Jama’ah
(Aswaja),” sudah lama dan berulangkali muncul di langit Indonesia. Lebih dari
70 tahun yang lalu NU mendeklarasikan dirinya sebagai penganut Ahlussunnah
wal-Jama’ah. Demikian halnya Muhammadiyah, kelompok yang biasanya
dipersebrangkan dengan NU. Orang-orang Islam di luar kedua ormas ini pada
umumnya juga menyebut dirinya sebagai penganut Ahlussunnah wal-Jama’ah. Gerakan
Shi’ah di Indonesia dilawan dengan slogan Ahlussunnah wal-Jama’ah.
Shi’ah ditolak karena bertentangan dengan prinsip-prinsip Ahlussunnah
wal-Jama’ah. Terakhir ada kelompok yang “berjihad” ke Ambon dan Poso menamakan
dirinya Laskar Jihad Ahlsunnah wal-Jama’ah. Tetapi apa sesungguhnya Ahlussunnah
wal-Jama’ah itu?
Secara literal
Ahlussunnah wal-Jama’ah berarti “Pendukung Sunnah (Nabi Saw) dan Jama’ah.” Para
pendukungnya adalah orang-orang yang menjadikan Sunnah Nabi Saw dan Jama’ah
sebagai tiang utama bangunan keislaman mereka. Hilang salah satu dari keduanya,
bangunan Islamnya goyang, bahkan bisa jadi hancur. Dengan kata lain, orang yang
tidak mengikuti Sunnah atau orang yang tidak mengikuti Jama’ah, atau keluar
dari Jama’ah, maka dia bukan lagi bagian dari masyarakat Islam.
Penekanan pada Sunnah tidak berarti penafian terhadap al-Qur’an. Al-Qur’an
adalah sumber Islam yang utama. Semua orang Islam dari semua golongan mengakui
ini. Tapi isi al-Qur’an begitu umum sehingga tidak cukup untuk dijadikan
rujukan dalam penyelesaian detil permasalahan yang dihadapi masyarakat
sekarang. Belum lagi persoalan perbedaan penafsiran.
Semakin umum suatu
pedoman semakin terbuka untuk ditafsirkan. Maka Khalifah Ali (pemimpin keempat
umat Islam sepeningal Nabi Saw), waktu mengirim utusannya menghadapi Khawarij,
kelompok yang memisahkan diri dari Ali dan tidak mau mengakui pemerintahannya,
wanti-wanti untuk tidak menjadikan al-Qur’an sebagai dasar untuk berargumen dan
untuk memperoleh kembali dukungan mereka. “Al-Qur’an itu terlalu umum sehingga
apapun yang kamu sampaikan akan ada bantahannya yang juga diambilkan dari
al-Qur’an. Berargumenlah dengan Sunnah,”demikian Ali. Jadi walaupun al-Qur’an
adalah sumber utama ajaran Islam, pada prakteknya Sunnah inilah yang paling
sering dirujuk.
Setelah Sunnah,
otoritas yang bisa menjelaskan al-Qur’an dan sekaligus menjadi pedoman
masyarakat Muslim adalah Jama’ah. Ketika masih hidup, tentu saja Nabilah yang
menjalankan fungsi penjelas wahyu dan pedoman umat ini. Sepeninggalnya,
masyarakat Muslim terbagi menjadi dua kelompok: Sunni dan Shi’i. Bagi kelompok
Shi’ah, sepeninggal Nabi Saw otoritas jatuh ke tangan turunan Nabi lewat
Fatimah dan Ali. Kepemimpinan lalu diwariskan secara turun menurun. Imam,
turunan Nabi Saw pemegang otoritas itu, menempati posisi yang sangat penting
dalam tradisi Shi’ah.
Bagi orang Sunni,
sepeninggal Nabi otoritas jatuh ke tangan masyarakat Islam, yang disebut
Jama’ah. Jama’ahlah yang menjdi ‘wakil’ Tuhan di bumi. Jama’ahlah yang
menentukan siapa yang akan memegang otoritas politik dan agama. Pemimpin umat
dipilih oleh Jama’ah. Keputusan-keputusan apapun yang menyangkut masyarakat
Muslim ditentukan oleh Jama’ah lewat musyawarah.
Hasil putusan
Jama’ah disebut Ijma’. Sekali diputuskan, Ijma menjadi sumber hukum yang harus
diikuti oleh semua anggota Jama’ah. Umar pernah mengatakan bahwa “Tangan Allah
itu di atas Jama’ah.” Apa yang baik menurut Jama’ah pasti baik menurut Tuhan.
Orang Islam yang keluar dari Jama’ah dianggap bukan Islam. “Barang siapa yang
meninggal dalam keadaan lepas dari Jama’ah, maka matinya adalah mati
Jahiliyyah,” demikian kata Nabi. Jahiliyyah adalah keadaan seseorang atau suatu
masa sebelum Islam.
Konsep Jama’ah bisa
memberikan justifikasi religius bagi partisipasi masyarakat Indonesia dalam
kerangka bernegara dan berbangsa. Mengaku dirinya sebagai penganut Ahlussunnah
wal-Jama’ah, mereka berikrar kepada Tuhannya bahwa mereka akan mengabdikan
diri, selain pada realisasi nilai-nilai luhur yang ada dalam Sunnah Nabi, juga
pada pembangunan Jama’ah. Kalau Jama’ah di Indonesia berantakan, kalau orang
tidak peduli lagi dengan nasib kebanyakan orang, dan kalau orang meruksak masa
depan orang kebanyakan, berarti klaim mereka sebagai penganut Ahlussunnah wal-Jama’ah
patut dipertanyakan.
Identifikasi yang
sangat jelas antara Jama’ah dengan Islam ada pada masa Nabi. Waktu menyeru
kepada Islam, Nabi kadadang-kadang mengggunakan kata-kata “Masuklah Anda ke
Jama’ah.” Maksudnya, masuklah Anda ke dalam Islam. Tetapi perlu diingat bahwa
Madinah pada masa Nabi juga dihuni kalangan non-Muslim (antara lain, Yahudi).
Pembuatan Piagam Madinah, sebuah dokumen yang berisi hak dan kewajiban
masing-masing angggota masyarakat Madinah, tentu saja melibatkan
kelompok-kelompok non-Muslim. Analisa terhadap dokumen itu menunjukkan bahwa
piagam ini tidak dibuat sekali jadi, tetapi dalam beberapa tahapan melalui
negosiasi yang alot.
Sebagai produk dari
sebuah negosiasi, tidak semua apa yang ditulis di dalam dokumen itu sesuai
dengan keinginan Nabi dan orang-orang Islam. Nabi, misalnya, dalam dokumen itu
tidak meletakkan dirinya sebagai pemimpin agama, tetapi lebih sebagai kepala
suku. Demikian juga, tidak semua kepentingan orang-orang non-Muslim diakomodasi
oleh dokumen tersebut. Masing-masing bergeser dari posisi awal dan berusaha
menemukan kesepakatan.
Berasal dari bahasa
Arab, jama’ah berarti ‘persatuan’atau ‘kebersamaan.’ Sembahyang berjama’ah
artinya sembahyang bersama-sama. ‘Ijma’ adalah keputusan bersama. Menekankan
aspek kebersamaan, Jama’ah lebih dari sekedar persoalan mayoritas minoritas,
sehingga simple majority bukanlah mekanisme yang diadopsi untuk memperolah
keputusan. Ia adalah instrumen dimana hubungan kemanusiaan, pengakuan adanya
perbedaan, partisipasi semua pihak, dan kelegaan bersama dipelihara.
Kebersamaan tidak dicapai dengan cara menghilangkan kelompok lain, tetapi
dengan cara dialog.
Membangun Jama’ah
adalah membangun dialog dan melakukan negosiasi. Dan, perlu diingat, ini adalah
Sunnah Nabi Saw.
Sumber, Artikel tetangga :D