Senin, 02 Februari 2015

Eksistensi Nilai

sebelum istirahat malam (kalo orang banten mah tilem atanpi sareh) kebiasaan saya pasti selalu berfikir tentang sesuatu. Entah itu tentang sawah-sawah yang mulai sulit mendapatkan air bersih (seluruh sungai di daerah tirtayasa pontang tanara sudah di cemari limbah) :'( , tentang bagaimana caranya saya bisa membeli mobil lamborghini :D atau tentang bisul tumbuh subur di hidung sya yang memang tak mancung hehehe babeh iwan lagi aja inimah, yah kembali lagi semua itu mempunyai nilai tersendiri jika temen teman atau kawan kawin eh kawan maksudnya (maklum bujang) juga melakukannya. oke next Sebelum berbicara lebih jauh tentang nilai dalam tiap sudut pandang kehidupan manusia, terlebih dahulu disini saya coba jelaskan atau mendefinisikan nilai agar tidak menimbulkan kesalah pahaman sejauh yang saya ketahui tentang arti dan maksud daripada nilai secara umum.

“Nilai” atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “Value” secara bahasa ia juga berarti harga, harga akan sesuatu yang kita lihat atau kita rasakan dengan panca indra, sebesar atau sekecil apapun ia bagi manusia ia tetap akan dirasakan berproses dari panca indra kemudian di cerna oleh akal lalu disimpulkan makna sesuatu tersebut,hal atau sebab apa yang membuat ia bernilai sesuatu, misalnya seorang anak kecil, orang akan berpikir jikalau orang itu bertubuh kecil suka bermain main, belum bisa membedakan mana itu hal yang baik dan mana yang buruk, berbicara selalu terbuka dan apa adanya, polos dan masih mudah untuk dibentuk kearah yang positif atau negatif, itulah yang disebut dengan anak kecil.

Dalam bahasa arab “Nilai” dikenal dengan istilah “Qiimatun” secara bahasa iapun juga sama berarti nilai atau harga, jadi dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang bernilai adalah sesuatu yang berharga dan sesuatu yang beraharga berarti sesuatu yang memiliki makna. Nilai adalah sesuatu yang mempunyai makna atau arti tertentu dalam diri seseorang dan oleh karena itu menarik bagi manusia dan memiliki arti bagi orang yang bersangkutan.

Menurut Jalaluddin Rummi nilai itu bersifat konstan,universal dan absolut, akan tetapi menurutnya ada juga nilai yang secara konstan dapat mengalami perubahan, ia juga menambahkan sambil mencontohkan bahwa suatu kejahatan tak ada yang absolut. Karna tuhan tidak menciptakan kejahatan(I) hal ini ia nyatakan dalam bait-baitnya  berikut.

Karena itu tak ada kejahatan yang absolut didunia ini, kejahatan selalu relatif. Ketahuilah wahai kawan. Racun adalah kehidupan bagi ular, (Tetapi) itu merupakan kematian bagi manusia. Laut adalah taman bagi makhluk air sedang bagi makhluk daratan ia adalah kematian dan siksaan.”

Dari bait bait diatas Rumi seperti yang ia tulis mencoba menjelaskan bahwa nilai yang muncul dari manusia adalah sesuatu yang dapat berubah ubah menurut waktu, tempat dan kondisi lingkungan yang merasakan sesuatu itu sendiri, perbuatan atau laku disatu tempat boleh jadi dikatakan suatu kejahatan tapi ditempat lain hal itu mungkin akan dikatakan kebaikan, begitu pula dengan kebaikan disatu masa atau zaman ia merupakan hal yang baik tetapi dikemudian hari atau dimasa masa selanjutnya boleh jadi ia akan dikatakan sebuah tindak kejahatan, tak ada yang absolut semua relatif dan seperti yang tertulis diatas menurut waktu dan kondisi lingkungan yang melakukan dan menilainya.

Hal seperti itu terjadi karena memang akal manusia akan terus berkembang dan terus mencari pengetahuan baru, dan memang harus diakui bahwa manusia adalah makhluk yang ridak pernah puas dengan apa yang ia dapat dan ketahui oleh karena itulah nilai yang muncul atau yang datang dari manusia selalu berubah ubah dan tidak tetap.

Semongko saking kula :D Alhaqqu min rabbika falatakuunanna minalmumtariin

Semiotika Alquran yang Membebaskan



Dengan pertimbangan bahwa al-Quran, yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf arab serta tersusun dalam untaian kata-kata dan kalimat, merupakan media tempat carut- marutnya tanda-tanda, maka salah satu pendekatan yang agaknya menarik dan relevan digunakan sebagai metodologi tafsir adalah pendekatan semiotika yang mengkaji bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks al-Quran.

Tafsir klasik konvensional seringkali dinilai hegemonik, mendominasi, anti-konteks, status-quois, mengkungkung kebebasan, dan bahkan menindas. Dengan tujuan untuk mencapai pemaknaan tunggal yang dianggap benar, para ulama menuntut model tafsir yang seragam. Akibatnya, tafsir menjadi asosial, ahumanis, terpusat pada teks, dan mengabaikan unsur-unsur di luarteks.
Saat ini, pergulatan dalam ranah kajian tafsir kontemporer menuntut adanya suatu model tafsir yang membebaskan. Tafsir yang tidak hanya didominasi oleh sebagian golongan tertentu, tetapi juga menampung aspirasi dan pendapat kelompok-kelompok yang selama ini tersubordinatkan. Ini dapat dilihat dari semakin maraknya kemunculan tafsir-tafsir yang menggunakan beragam pendekatan baru dengan bertujuan menggoyang kemapanan tafsir konvensional, seperti hermeneutika, pendekatan feminisme, teologi pembebasan, pendekatan sastra, pendekatan kontekstual, dan posmodernis
Dengan pertimbangan bahwa al-Quran, yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf arab serta tersusun dalam untaian kata-kata dan kalimat, merupakan media tempat carut- marutnya tanda-tanda, maka salah satu pendekatan yang agaknya menarik dan relevan digunakan sebagai metodologi tafsir adalah pendekatan semiotika yang mengkaji bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks al-Quran.
Semiotika sebagai sebuah disiplin tentang tanda, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya, dapat digunakan untuk memahami tanda-tanda yang terdapat dalam al-Quran. Semiotika berbeda dengan hermeneutika—ilmu tentang kebenaran makna atau makna-makna tersembunyi di balik teks-teks yang secara literer tampak tidak memuaskan atau dianggap superfisial.
Pendekatan hermeneutika dalam tafsir al-Quran menuntut tiga fokus utama yang selalu dipertimbangkan, yaitu: dunia teks, pengarang, dan pembaca. Hermeneutika berbicara mengenai hampir semua hal yang berkaitan dengan ketiga hal tersebut. Sedangkan semiotika membahas sesuatu yang lebih spesifik. Jika hermeneutika memberikan fokus cukup luas yang mencakup teks, pembacaan, pemahaman, tujuan penulisan, konteks, situasi historis, dan kondisi psikologis pembaca maupun pengarang teks. Maka, semiotika mempersempit wilayah kajian tersebut dengan hanya memberikan fokus pembahasan hanya tentang tanda, fungsi, dan cara kerjanya
Tokoh utama peletak dasar semiotika modern adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913), seorang pengajar linguistik umum di Universitas Jenewa pada 1906. Dalam kumpulan catatan-catatan kuliahnya, Cours de Linguistique Général (1916), Saussure memperkenalkan semiologi atau semiotika sebagai ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi dan cara kerjanya
Pada perkembangan selanjutnya, semiologi ala Saussure melahirkan lingkaran intelektual yang sangat berpengaruh antara 1950-an sampai 1960-an. Mazhab tersebut disebut strukturalisme. Tesis utama strukturalis ialah bahwa alam dunia dapat dipahami selama kita mampu mengungkap adanya struktur yang menjamin keteraturan, atau pola sistematika benda, kejadian, kata-kata, dan fenomena.
Pendekatan strukturalisme melahirkan karya-karya tafsir yang tentu saja menuntut pemaknaan tunggal. Ayat-ayat al-Quran hanya dapat diungkap oleh satu macam arti. Alasannya adalah karena memang terdapat sistem yang mapan di balik tanda-tanda al-Quran. Hubungan antara teks di dunia nyata dengan maknanya di dunia ide adalah baku dan tidak dapat diganggu gugat. Teks al-Quran sebagai penanda telah dikaitkan dengan apa yang disebut Jacques Lacan sebagai points de capiton, kancing pengait. Tentu saja pertanyaan yang muncul kemudian adalah: siapakah yang mempunyai hak untuk menetapkan point de capiton tersebut? Dan siapa pula yang menegaskan kebakuan hubungan antara teks al-Quran dengan maknanya?
Semiotika post-strukturalis datang dengan konsep yang berkebalikan dari gagasan strukturalisme. Post-strukturalisme mengganggap petanda yang merupakan pusat dari struktur selalu bergeser terus-menerus. Dengan demikian, tak ada yang disebut dengan pusat dan tak ada asal usul yang pasti. Semuanya akan menuju ke suatu permainan petanda yang tak terbatas, karena penanda tidak mempunyai hubungan yang pasti dengan petanda. Hubungan penanda-petanda adalah arbriter. Menurut Roland Barthes, petanda selalu mempunyai banyak arti (plus de sens). Tak ada hubungan intern antara konsep yang ditunjukkan dengan bunyi yang menunjukkannya, sehingga tak ada petanda yang pasti bagi penanda. Penanda bersifat polisemi, bermakna ganda, dan petanda dapat bergeser terus menerus dari penandanya.
Jacques Derrida, seorang filosof aliran post-strukturalis, menyebutkan bahwa tak ada perbedaan eksistensial di antara berbagai jenis literatur yang berlainan. Semua naskah memiliki ambiguitas fundamental yang merupakan akibat dari sifat natural bahasa itu sendiri. Begitu juga dengan al-Quran. Derrida bersikukuh bahwa ada banyak cara untuk membaca dan memahami teks. Makna teks tidak lagi sama dengan apa yang dikehendaki oleh si pengarang. Yang tercatat dalam naskah bisa menimbulkan “multiple- understanding” (keragaman pemahaman) pada saat yang sama.
Keinginan Derrida adalah membebaskan naskah. Naskah harus dibebaskan dari usaha pemaknaan tunggal resmi yang mungkin dikonstruk oleh budaya hegemonik atau oleh struktur-struktur kelembagaan formal yang menegaskan bentuk-bentuk wacana diskursif. Untuk tujuan tersebut, Derrida memperkenalkan konsep “dekonstruksi” yang memiliki tugas membebaskan naskah, mengembangkan dan mengungkap ambiguitas terpendam, menunjukkan kontradiksi internal, dan mengidentifikasi kelemahannya. Hal ini adalah kondisi yang selalu mungkin (condition of possibilities) yang terdapat pada teks.
Condition of possibilities merupakan kata kunci untuk memahami naskah al-Quran. Pada dasarnya, apakah yang sebenarnya berlaku dalam tafsir? Adakah struktur dibalik teks atau tidak. Jika memang teks dibangun di atas seperangkat sistem yang teratur, mengapa kemudian lumrah terjadi keberagaman pemahaman. Bahkan para sahabat pun kerapkali berselisih paham mengenai persoalan-persoalan keagamaan, terutama tafsir al-Quran.

Berkaitan dengan condition of possibilities teks yang berpotensi menimbulkan multi-pemahaman, Umberto Eco menyarankan agar bahasa diperlakukan seperti ensiklopedia yang selalu dinamis, terbuka, dan memungkinkan masuknya entry-entry baru. Tidak seperti kamus yang mirip “pohon porphyri” (model definisi, terstruktur melalu genre, spesies, dan pembeda).
Eco menunjukkan adanya perbedaan antara struktur kamus dan struktur ensiklopedia. Dalam linguistik konvensional, bahasa merupakan sebuah sistem yang statis dan tertutup. Model kamus pada bahasa tidak mampu menangani, meminjam istilah Peirce, “semiosis tak terbatas”—hasil dari fakta bahwa tanda dalam bahasa terkait dengan tanda-tanda lain, dan suatu naskah selalu menawarkan kesempatan penafsiran yang tak terhingga banyaknya. Sebaliknya, ensiklopedia akan sesuai dengan suatu jaringan tanpa pusat yang darinya tidak terdapat jalan keluar, atau jalan ke suatu model tak berhingga yang memberi kesempatan bagi unsur-unsur baru.
Agar bisa berfungsi dengan baik sebagai jaringan kata-kata yang memberikan kesempatan munculnya makna-makna baru, maka bahasa harus menjadi sistem dinamis yang terbuka dan mirip dengan ensiklopedia.
Begitu pula dengan tafsir. Pemaknaan ayat-ayat al-Quran yang disusun seperti struktur kamus sudah pasti akan menghasilkan sebuah sistem yang eksklusif, bersifat hegemonik, dan status-quois. Maka, alangkah baiknya jika pemaknaan al-Quran dilandasi oleh semangat ensiklopedia yang terbuka, inklusif, dinamis, dan memberikan kesempatan bagi pembebasan, baik pembebasan bagi makna itu sendiri maupun bagi masyarakat yang merasakan dampak positifnya secara langsung.


#Sumber komputer kakang :D

KONTRIBUSI PENDIDIKAN ISLAM DALAM MENCIPTAKAN MASYARAKAT MADANI


 

PRAWACANA

Islam adalah sebuah tatanan bangunan kemanusiaan yang berdimensi ganda. Pertama, dimensi yang bersifat langit (dimensi samawiyah) dan yang kedua dimensi yang akarnya menghujam teguh di di dalam dan di atas bumi (dimensi ardiyah). Dimensi yang pertama dan ke dua tidak bias dipisahlan datu dengan yang lainnya, ibarat setali mata uang. Untuk menggapai dimensi yang pertama, maka terlebih dahulu memulai langkah awal dimensi yang kedua dan bagaimana agar gerak langkah dimensi ke dua ini tidak terjerat maupun terperangkap dalam dimensi samawiyah yang sehingganya kita seringkali terperdaya oleh bius surgawi yang padahal semua jenis kesenangan tidak akan bias diperoleh tanpa menginjakkan kaki dengan cara yang baik dan benar sesuia dengan kaidah maupun tuntunan yang telah digariskan Sang Khaliqnya dalam dimensi yang pertama.
Salah satu bentuk riil di antara dunia dimensi tersebut saling terkait dan terpaut erat bahwasannya Allah SWT. menurunkan peraturan dalam bentuk agama di muka bumi ini tidak ada lain tujuannya hanya untuk menyelamatkan ummat manusia dari kerusakan dan pertumpahan darah (QS. 2:30) dan menata kehidupan yang dinamis, harmonis, sehingga manusia merasa betah dan nyaman unutk tinggal di dalamnya (QS. 21:107).
Berbicara kontribusi pendidikan Islam berarti tidak akan perlepas dari pembicaraan Islam sebagai sebuah agama yang kita yakini kebenarannya. Agama bukan saja Islam merupakan sebuah kebutuhan esensi bagi setiap kehidupan manusia dan agama inilah yang kelak sanggup bias merubah wajah dunia (world views), khususnya yang berdimensi ontologis. Oleh karenanya doktrin agama yang paling tegas dan bersifat fundamental bahwa salah satu missi diciptakannya manusia di muka bumi ini adalah untuk menjadi khalifah (mandataris) Allah di muka bumi dan setelahnya itu baru Abdullah. Untuk menjadikan manusia sebagai khalifah maupun Abdullah, Allah terlebih dahulu memberikan kayakinan melalui Kitab Suci-Nya mengenai norma dan keyakinan dan nilai-nilai suci yang seharusnya dijadikan kerangka dasar bagi semua aktivitas maupun langkah tindakan manusia itu sendiri. Banyak para ahli futorolog seperti John Neisbit dan Toffler mengatakan bahwa abad ke 20 merupakan abad kebangkitan agama. Namun pertanyaan nya adalah kebangkitan agama yang model apa atau bagaimana yang akan terjadi  pada masa depan jika ekelak agama yang digandrungi oleh ummat mansusia tidak dibangaun di atas, norma-nirma kemanusiaan. Kaslau kita set beck ke belakang sejak mansuai diciptalan agama dengan sendirinya ti bul dan bangkit sealur dengan kebutuhan fitri manusia pertama pada saat itu. Inilah mungkin yang kata Will Durant, seorang yang tidak pernah memperayai agama manapun yang ada di dunia ini, mrngstsksn dalam bahasannya mengenaui sejarag dan agam,a: “aga,a mempunyao seratsus jiwa. Segala sesuatu bila telah terbunuh, pada kali pertama itupun ia sudah mati untu selama-lamanya, kecuali agama. Sekirantya ia seratus kali di bunuh, ia akan muncul lagi dan akan kembali hidup setelahnya itu”.[1]
Oleh karenya sambung Durant bahwa agama pada hakekatnya memiliki dua keistimewaan. Pertama, ia sendiri merupakan kebutuhan fitri dan emosional manusia dan yang kedua  merupakan satu-satunya sarana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan fitri manusia yang tak sesuatupun dapat menggantikan kedudukannya.
Bagi orang orientalis seperti Will Durant di atas bahwa agama akan terbangu yuang disebbakan oleh tiga hal :
1.       Agama terbangun karea produk rasa takut. Rasa takut manusia dari alam, dari gelegarnya suara halilintar manakala musim hujan dating yang dapat menggetrarkan dan sekaligus menggibdcang jiwa manusia. Sebagai akibat dari adanya rasa yakut tersebut , mala ter;intaslah agama dalam benak manusia;
2.       Agama adalah produk kebodoan seoang manusia. Keboidohan di sini disebabkan krena adanya rasa oputus asa yang ada pada disiri seotang manusia manakala  menemukan berbagai macam feniomena alam dan pada saat yang bersamaan belum bias ditemukan secatra scientific, ia lalu menisbahklan hal tersebut [pada sesuatu hal yang bersifat metafisis.
3.       Adanya pendambaan terhadap rasa keadlan dan ketentraman. Secara naluriah tidak terkecuali manusia model manapun dan berwearna kulit apapun tetap akan mendambakan yang namanya keaduilan dan rasa ketentraman dalam menjalankan kehidupannya. Terkadang dari ke[picikan sebuah pemikiran manusia menilai rasa keaduilan dan ketentraman dinilai dari sesuatu yang hanya dapat membahagiakan dirinya semata, tapi manakala rasa kebhagiaan itu dipandang tidak berpihaka kepadanya misalnya ketika sseseotan g mengalami sakit, atau terjerat dalam sebuah permasalahan yang akan mengancam jiwanya, pada saat yang sama dia pasti akan mencari seuatu yang dijadian sebagai dewa penolong sehingga diharpkan kelak ia dapat terhiondar dari rasa ketakutkan yang hendak emenimpa pada dirinya. Ini;ah yang setong dikatakan oleh para psikolog agama sering dijadikan sebagai tempat pelarian bukan kebutuhan.
Sekilas pandangdari ketiga hipotesis tersebuty di atas, peran agama dengan sendirnya akan menghilang manakala kemajuan teknlogi manusia sudah berada pada ambang puncaknya. Utntuk itun mereka menyeruka untuk segera menabuh gendering ilmu pengetahuan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam segala aspeknya.

Ketika pada masa awal Islam, suatu lembaga pendidikan setingkat dengan Madrasah Ibitidaiyah/Sekolah Dasar dinamakan Al-Kuttab, yaiutu sebuah institusi lembaga pendidkan Islam yang programnya terfokus pad abaca-tulis Al-Qur’an dan sedikit dasar-dasar agama. Selanjutnya pada masa dinasti Umayah (71-12 H/690-743 M), didirikanlah sebuah Universitas islam pertama pada tahu \n 116 H oleh seorang Gubernur yang bernama H. Abfdullah bin al-Habbab pada masa pemerintah Hisyam bin Abdul Malik, di saat seorang Gubernur berkunjung ke Tunis atas perintah sang Khaliah, lalu ia membangun mMasjid Jami’ dan pusat industry perkapalan, dan inilah yang elak menjadi cikal bakal timbulnya Universitas Al-Zaituniyah. Dari Universitas inilah lahir cikal bakal para pemikir Islam termasuk yang menjelaskan pemikiran –pemikiran Iamam Malik, seperti halnya Ali bin Ziyad an seorang muridnya yang bernama Sahnun yang kemudian menjadi seorang ulama besar tunis juga berguru dan ditempa dalam perguruan tersebut.[2]







[1] Murtadha Muthahhari, Perspektif Al-Qur’an tentang manusia dan agama, Mizan : Bandung, 1995, h. 41.
[2] Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi Al-Qur’an dan dinamika Masyarakat, Lentera hati, Jakarta, 2006. H. 106-108.

Minggu, 01 Februari 2015

Cara Pemerintah dalam melakukan penganggaran



Anggaran Belanja Pemerintah
(Government Budget)

A.    Pengertian anggaran
Secara umum anggaran adalah suatu daftar atau pernyataan yang terinci tentang penerimaan dan pengeluaran negara yang ditetapkan dalam jangka waktu tertentu (1th). Akan tetapi anggaran pemerintah pun memiliki pengertian yang berbeda-beda bila di tinjau dari aspek politik, yuridis, dan ekonomi.
1.      Aspek politik : bahwa anggaran pemerintah di dalam penyusunannya melibatkan partai politik sebagai representasi wakil rakyat yang memiliki kedaulatan, jadi pembahasannya melalui lembaga legislatif yang memiliki hak budget.
2.      Aspek yuridis: anggaran pemerintah sebagai dokumen hukum berbentuk undang-undang, yang oleh karenanya mengikat pemerintah dan seluruh jajarannya dalam pelaksanaan anggaran pemerintah.
3.      Aspek ekonomi: anggaran pemerintah merupakan seluruh tindakan kebijaksanaan pemerintah dalam menentukan besarnya pengeluaran negara yang dapat mempengaruhi perekonomian nasional.

B.     Anggaran sebagai alat kebijakan pemerintah
Peranan pemerintah dalam perekonomian dilakukan melalui kebijakan pengelolaan anggaran penerimaan dan belanja negara ( APBN ), sebagai stimulans terhadap kegiatan perekonomian negara dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi disisi lain proses penyusunan anggaran pemerintah merupakan proses politik dimana peran legislatif sangat menentukan dalam menetapkan kebijakan anggaran.

C.    Proses penyusunan anggaran (budget cycles)
Secara garis besar ada empat tahap dalam proses penyusunan anggaran yakni tahap persiapan, tahap proses penetapan, tahap proses perubahan, dan tahap proses perhitungan.
1.      Tahap persiapan
Pada tahap ini antara pemerintah dan parlemen menyusun suatu kebijakan umum mengenai rencana APBN baik menyangkut kebijakan belanja maupun kebijakan pemerintahan.
2.      Tahap proses penetapan
Pada tahapan ini ditetapkan rencana kebijakan serta prioritas pembelanjaan. Kemudian merumuskan secara rinci rencana penerimaan serta kebijakan penerimaan pemerintah untuk pembiayaan rencana pengeluaran/belanja pemerintah.
3.      Tahap proses perubahan
Dalam pelaksanaan anggaran pada setiap pertengahan tahun anggaran berjalan diadakan pengujian dan evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah atas kemungkinan terjadinya perubahan baik terhadap pelampauan plafon anggaran maupun perubahan asumsi atas faktor-faktor dan kondisi yang diperkirakan sehingga mempengaruhi kebijakan penetapan anggaran tersebut.
4.      Tahap proses penghitungan
Pada tahapan ini dilakukan penghitungan pada akhir tahun anggaran untuk menetapkan realisasi anggaran setelah dilakukan penutupan kas dan penghitungan baik disisi pengeluaran maupun sisi penerimaan.
D.    Asumsi indikator ekonomi dalam penyusunan APBN
1.      Tingkat inflasi
2.      Kurs mata uang asing ($)
3.      Sertifikat BI (%)/ pertriwulan
4.      Harga minyak bumi
5.      Produksi minyak (lifting) barel/hari
6.      Konsumsi BBM (bersubsidi)
7.      Pertumbuhan ekonomi (%)
8.      Subsudi BBM
9.      Defisit APBN

E.     Fungsi anggaran
1.      Sebagai pedoman/ rencana kerja periode tertentu ( 1 th )
2.      Sebagai alat pengawasan bagi masyarakat/ legislatif terhadap kebijakan yang dipilih
3.      Sebagai tolak ukur dari kinerja pemerintah dalam melaksanakan kebijakan yang dipilih.
4.      Sebagai pertanggungjawaban eksekutif/ pemerintah atas penggunaan resources.

F.     Pengeluaran (ekspenditure)
Kriteria pengeluaran pemerintah dapat dikelompokkan dalam:
1.      Obligatory and optional expenditure.
Yakni jenis-jenis pengeluaran pemerintah yang sifatnya wajib dan harus dilakukan agar efektifas pemerintahan dapat terselenggara dengan baik. Sedangkan optional expenditure yaitu jenis-jenis pengeluaran apabila keadaan memerlukan dapat atau tidak dapat dilaksanakan tidak mengganggu efektifitas pemerintahan.
2.      Exhaustive and transfer expenditure.
Exhaustive expenditure adalah pengeluaran untuk pembelian barang dan jasa dimana dengan pengeluaran itu pemerintah mendapatkan hasil nyata. Sedangkan transfer expenditure adalah pengeluaran pemerintah kepada pihak lain dan atas pengeluaran tersebut pemerintah tidak mendapatkan hasil langsung.
3.      Consolidated and unconsolidated expenditure
Consolidated expenditure adalah pengeluaran yang sudah terkonsolidasi atau tidak perlu diteliti secara mendalam sehingga tidak pelu persetujuan dari legislatif terlebih dahulu. Sedangkan unconsolidated expenditure adalah pengeluaran pemerintah untuk kegiatan yang harus mendapat persetujuan parlemen terlebih dahulu.
4.      Liquidated and cash expenditure
Liquidated expenditure adalah pengeluaran pmerintah untuk kegiatan yang sudah diajukan dan disetujui oleh perlemen meskipun nantinya ada atau tidak adanya perubahan yang dapat melampaui plafon atau batas maksimum.
Sedangkan cash expenditure  adalah pengeluaran pemerintah yang telah sungguh-sungguh dilakukan untuk pembayaran yang kongkrit.

G.    Sifat pengeluaran yang didasarkan pada ketergantungan pemerintah dibedakan dalam:
1.      Self liquidating
Yaitu pengeluaran pemerintah untuk suatu barang/jasa yang tidak membebani pemerintah dalam pemeliharaan atau eksploitasi dan kemudian pemerintah mendapatkan keuntungan dari masyarakat yang menerima barang/jasa tersebut.
2.      Unself liquidating
Yaitu pengeluaran pemerintah untuk suatu barang/jasa yang pemeliharaannya menjadi beban dari pemerintah sedangkan pemerintah tidak mendapatkan keuntungan dari masyarakat yang menerima barang/jasa tersebut.
3.      Investasi/ modal
Yaitu pengeluaran pemerintah yang merupakan investasi atau modal yang akan menambah ketahanan ekonomi dimasa datang (program pembangunan proyek waduk/irigasi)
4.      Unproduktive expenditure
Yaitu pengeluaran pemerintah untuk kegiatan yang tidak produktif (biaya angkatan perang, proyek mercusuar, batas fisik wilayah negara)
H.    Penerimaan
Sumber-sumber penerimaan negara/pemerintah secara umum adalah:
1.      Pajak dan retribusi
2.      Bagian laba/keuntungan dari perusahaan pemerintah
3.      Denda dan perampasan yang dijalankan secara sah oleh pemerintah
4.      Sumbangan dan hibah
5.      Hasil undian negara/lottery
6.      Hutang dan atau pinjaman
7.      Hadiah
8.      Pencetakan uang
9.      Penerimaan lainnya yang sah menurut peraturan perundang-undangan

I.       Belanja
Anggaran belanja pemerintah umumnya dikelompokkan untuk pengeluaran:
1.      Tugas-tugas umum penyelenggaraan pemerintahan: keamanan,keadilan dan penegakan hukum, ketentraman dan ketertiban (bidang pemerintah)
2.      Peningkatan perekonomian (sektor ekonomi)
3.      Pemberian jaminan kesejahteraan sosial ( jaminan kesejahteraan sosial)
4.      Penyediaan barang-barang publik dan pelayanan (infrastruktur and public services)
                           
J.      Struktur belanja ( APBN/D)
1.      Belanja tidak langsung
a.       Belanja pegawai
b.      Belanja bunga
c.       Belanja bantuan sosial
d.      Belanja bagi hasil (kab/kota)
e.       Belanja tak terduga
2.      Belanja langsung
a.       Belanja pegawai (honorarium)
b.      Belanja barang dan jasa
c.       Belanja modal
d.      Belanja program dan kegiatan (urusan wajib dan urusan pilihan)