Jumat, 23 Maret 2012

NILAI-NILAI PEDAGOGIS DALAM KEMATIAN


Manusia diciptakan oleh Allah SWT. Selain sebagai khalifah-Nya juga berkewajian untuk mengemban dan melaksanakan segala bentuk perintah yang telah digariskan dalam sebuah dokumen berupa “Wahyul Ilahiyyi” (Al-Qur’an dan Al-Sunnah). Di antara amanat Allah yang diperuntukkan kepada makhluknya yang bernama manusia adalah memakmurkan dunia dan isinya dengan tidak menentang segala bentuk intruksi yang menjadi hak prerogatif Sang Khaliknya. Makhluk yang bernama manusia merupakan sebuah “entitas” atau spesies yang sangat unik dan antik untuk dapat dilihat secara jelas. Mengapa? Masalahnya semua yang nampak dalam bentuk luar (dhohir) belum tentu sama dalam kaca mata batinnya. Salah satu bukti keunikan dan keantikan makhluk yang bernama manusia terbukti ketika kali pertama penciptaannya terlebih dahulu didiskusikan antara Allah sebagai Khaliqnya dengan para Malaikat sebagai makhluknya. Meskipun entitasnya yang unik namun tetap menarik untuk didialogkan yang disebabkan karena adanya sesuatu yang bersifat misterius dalam diri manusia, khususnya aspek-aspek yang bersifat internal dan yang abstrak serta sesuatu hal yang menyangkut aspek psikis yang dalam istilah WE. Hocking “to think about thinking” di mana objek dan subjeknya manjadi satu.[1]
Doktrin pokok yang telah digariskan Islam sebagai agama samawi menggaris bawahi bahwa kebahagiaan manusia di dunia dan diakhirat hanya mungkin tercapai dengan memahami kehendak Allah SWT. yang telah dimanifestasikan dalam hukum-hukum kemanusiaan (Sunnatullah ‘Alannasi). Mencari kehendak atau hukum Allah SWT. secara unilateral di dalam kemanusiaan hendaknya dibingkai oleh kesalehan pribadi dalam segala gerak dan langkahnya, sehingga kematian bukan suatu monster yang menakutkan melainkan sebuah tangga dalam rangka mencapai kebahagiaan yang hakiki. Fakta moral yang tertanam-dalam itulah yang merupakan tantangan abadi manusia yang membuat hidupnya dijadikan perjuangan moral yang tak berkesudahan untuk menciptakan sebuah tatanan sosial yang bermoral di atas dunia atau dengan bahasa Al-Qur’an sebagai “amanah”.[2] Sedianya Allah menawarkan amanah ini kepada langit dan bumi, tetapi mereka menolak karena takut tidak kuat menanggung bebannya dan pada akhirnya amanah tersebut diterima oleh manusia meskipun secara inplisit maupun eksplisit banyak di antara ummat manusia yang berlaku munafik (hipokrit) dalam menjunjung nilai-nilai sakral bersama Tuhannya.
Pelaksanaan perjanjian moral dari sang makhluk bernama manusia bersama Khaliqnya merupakan sebuah inidikasi adanya kematian setelah kehidupan, inilah sebuah fungsi keberagamaan seseorang dan bahkan agama yang akan memerankan sejumlah fungsinya dijadikan sebagai barometer dalam menggapai kemanusiaan hakiki. Akan tetapi ketidakberdayaan, atau dalam “konteks ketidakmungkinan” menunjuk pada sebuah kenyataan dan akan bermuara pada sebuah kelemahan, penderitaan, dan bahkan kematian sekalipun yang merupakan eksistensi makhluk hidup. Sebagian orang-orang orientalis seperti halnya Max Weber menganggap kematian sebagai titik kritis dan titik kritis ini, hanya sebagai “masalah makna” saja. Mengapa saya sakit? Mengapa saya harus mati? Mengapa sang kekasih mati dengan teragis di masa remaja yang belum terpuaskan? Mengapa orang-orag muda yang berbudi luhur lebih dahulu mati sedangkan orang-orang jahat berkembang subur bagaikan pohon beringin? yang pada akhirnya ada aspek yang tidak membahagiakan dalam kondisi kemanusiaan, padahal hanya seorang manusia sebagai makhluk yang dianggap mampu mengemban amanah-Nya ketimbang makhluk-makhluk lainnya? Jawabannya adalah jika sebuah norma dan tujuan yang kelak akan mendatangkan kesulitan bagi kemanusiaan dibenarkan dengan ideologi kemanusiaan dalam segala aspeknya, maka kesialan dan frustasi akan memiliki makna yang terakhir. Kehidupan dapat dianggap memiliki makna, manakala makna itu sendiri mampu mentransendensikan pengalaman empiris dalam situasi “saat ini dan di sini”. Situasi “di sini dan saat ini” akan menjadi bermakna apabila disesuaikan dengan dunia di luar kita (beyond) atau dengan bahasa agama disebut dengan hari akhir (yaumul akhir).[3]
Berbicara kematian berarti kita membahas persoalan masa depan kendatipun kematian tidak berarti jauh dari kenyataan kekirian dan sekarang sebagaimana angan-angan yang kita bayangkan bersama. Sikap terhadap masa depan di atas biasanya beragam, bergantung pada pangkal tolak dan sudut pandang masing-masing, ada yang beranggapan distopia dan pasimistis sampai kepada yang optimistis utopia. Sikap yang pertama lebih banyak dibayangi oleh kecemasan dan ketakutan, sedangkan sikap yang kedua lebih banyak menaruh perhatian sekaligus harapan.
Kematian merupakan fenomena alam yang paling jelas dan kuat bagi semua makhluk hidup, dikatakan jelas dan kuat karena semua yang hidup pasti akan mati. Kematianlah kilas Will Durant dalam “The Sotry of Civilization” merupakan cikal bakal tumbuhnya agama-agama di dunia. Bisa jadi kalau tidak ada kematian Tuhan tidak akan pernah terwujud dalam benak kita.[4]
Selain kematian merupakan fenomena alam juga merupakan fitrah manusia yang membuat diri manusia berkeinginan untuk berlaku suci dan secara kodrati lebih condong kepada kebaikan dan kebenaran (hanief). Secara fungsional yang membuat manusia berkedudukan paling tinggi bila dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang lainya terletak pada kemampuan manusia memformat fenomena yang ada melalui fitrah dalam kerangka nilai-nilai qudsiyah yang diserap untuk diaplikasikan menuju tatanan ideal atau dengan kata lain terbentuknya tatanan masyarakat madani (civil society).
1.      Apa yang dimaksud dengan kematian ?
2.      Adakah nilai-nilai paedagogis dalam kematian ?
Sebagai acuan dasar dalam pembahasan berikutnya, saya memandang perlu untuk membatasi ruang lingkup istilah yang nantinya akan terkait dengan uraian mendatang.
Kematian asal kata dari “mati” atau “maut” dalam bahasa arabnya ditambah dengan awalan “ke” dan akhiran “an” yang berarti terpisahnya jiwa (ruh) dengan raga (badan) setelahnya kehidupan.
WJS. Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan nilai dengan harga, seperti nilai harga satu kilogram gula sama nilainya dengan harga satu kilogram gula tersebut.[5]
Paedagogis berasal dari bahasa Yunani “Paedagogie” yang berarti pendidikan. Ramayulis seorang pakar pendidikan menginterpretasikan pendidikan sebagai suatu bentuk bimbingan yang diberikan kepada anak didik.[6] Sedikit berbeda dengan pendapat di atas bahwa yang dimaksud dengan pendidikan sesuatu menyangkut pengalaman dalam berbagai macam bentuknya, anak mendidik orang tuanya, murid mendidik gurunya, anjing mendidik tuannya. Dalam penegertian yang lebih luas kehidupan adalah pendidikan dan kehidupan adalah pendidikan.[7]
Interpretasi di atas, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan paedagogis sama artinya dengan pendidikan. Oleh karenanya yang dimaksud dengan nilai-nilai paedagogis sama dengan nilai pendidikan itu sendiri. Menurut kaum idealis bahwa yang dimaksud dengan nilai-nilai pendidikan itu adalah sebuah penglahiran (cetusan) dari sebuah kerangka atau sistem yang kekal dan abadi yang memiliki nilai dalam dirinya sendiri.[8]
Oleh karena pembahasan kematian adalah sesuatu yang bersifat semu dan pengalaman teransenden, pada akhirnya akan sampai pada titik temu dalam kata percaya atau tidak? Faham seorang yang beragama tidak akan bertemu dengan orang yang menganut faham materialisme dan naturalisme. Faham aliran ini menganggap bahwa sesuatu yang nyata atau primer hanyalah materi semata. Kesadaran akal, atau perasaan yang terungkap dalam bahasa hanyalah refleksi dari materi semata. Begitu juga dengan faham naturalisme bahwa realitas adalah dunia empiris dan raelitas itu hanya dapat dipahami hanya lewat sains yang bisa memberikan interpretasi mengenai dunia secara memuaskan (hedonistis).
Sementara agama mempunyai dunia yang supra natural. Tuhan umpamanya, adalah sesuatu yang transenden, yang berbeda dengan alam. Bahkan Tuhan sendiri dipercayai sebagai pencipta alam dan hal lain yang bersifat ghoib seperti alam rohani dan kematian. Tuhan, kematian, surga, neraka, dan hari kiamat, bukan bagian dari pengalaman empiris. Secanggih apapun bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dimiliki oleh seseorang tidak akan mampuh menyediakan alat untuk membuktikannya, kecuali dengan metode keimanan sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 3 : “Mereka yang beriman kepada yang ghaib, melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rizqi yang kami berikan kepada mereka”.
Agama pada umumnya tidak terkecuali Islam, mempercayai kepada sesuatu yang bersifat ghaib, seperti; Tuhan, wahyu, kiamat (mati), hari akherat, malaikat, setan, surga, dan neraka. Itu semua menunjukkan makna bahwa kehidupan ini merupakan sebuah turnamen untuk meraih piala perlombaan yang berupa surga (kesenangan). Oleh karenanya dalam Islam kita dianjurkan untuk memperbanyak bekal atau melatih diri untuk berlaga di arena pertandingan dan sebaik-baiknya persiapan atau bekal adalah taqwa.



[1] Ahmad Ludjito, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Pelajar, Semarang, 1996, h. 99.
[2] QS. 33: 72.
[3] Thomas E O’dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, Solidaritas Gadjahmada, Yogyakarta, 1994, h. 3-11.
[4]  Komarudin Hidayat, Psikologi Kematian Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme, Mizan, Bandung, 2006, h. Viii.
[5]  WJS. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai  Pustaka, Jakarta, 1984, h. 677
[6] Ramayulis, Ilmu Pendidkan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 1994, h. 1
[7] A. Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, Rosdakarya, Bandung, 1995, h. 5
[8] HM. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1994, h. 149