Manusia diciptakan oleh Allah SWT. Selain sebagai khalifah-Nya juga berkewajian
untuk mengemban dan melaksanakan segala bentuk perintah yang telah digariskan
dalam sebuah dokumen berupa “Wahyul Ilahiyyi” (Al-Qur’an dan Al-Sunnah).
Di antara amanat Allah yang diperuntukkan kepada makhluknya yang bernama
manusia adalah memakmurkan dunia dan isinya dengan tidak menentang segala
bentuk intruksi yang menjadi hak prerogatif Sang Khaliknya. Makhluk yang
bernama manusia merupakan sebuah “entitas” atau spesies yang sangat unik
dan antik untuk dapat dilihat secara jelas. Mengapa? Masalahnya
semua yang nampak dalam bentuk luar (dhohir) belum tentu sama dalam kaca
mata batinnya. Salah satu bukti keunikan dan keantikan makhluk yang bernama manusia
terbukti ketika kali pertama penciptaannya terlebih dahulu didiskusikan antara Allah sebagai Khaliqnya dengan para Malaikat sebagai
makhluknya. Meskipun entitasnya yang unik namun tetap
menarik untuk didialogkan yang disebabkan karena adanya sesuatu yang bersifat
misterius dalam diri manusia, khususnya aspek-aspek yang bersifat internal dan
yang abstrak serta sesuatu hal yang menyangkut aspek psikis yang dalam istilah
WE. Hocking “to think about thinking” di mana objek dan subjeknya
manjadi satu.[1]
Doktrin pokok yang telah digariskan Islam
sebagai agama samawi menggaris bawahi bahwa kebahagiaan manusia di dunia dan
diakhirat hanya mungkin tercapai dengan memahami kehendak Allah SWT. yang telah
dimanifestasikan dalam hukum-hukum kemanusiaan (Sunnatullah ‘Alannasi).
Mencari kehendak atau hukum Allah SWT. secara unilateral di dalam kemanusiaan
hendaknya dibingkai oleh kesalehan pribadi dalam segala gerak dan langkahnya,
sehingga kematian bukan suatu monster yang menakutkan melainkan sebuah tangga
dalam rangka mencapai kebahagiaan yang hakiki. Fakta moral yang tertanam-dalam
itulah yang merupakan tantangan abadi manusia yang membuat hidupnya dijadikan
perjuangan moral yang tak berkesudahan untuk menciptakan sebuah tatanan sosial
yang bermoral di atas dunia atau dengan bahasa Al-Qur’an sebagai “amanah”.[2]
Sedianya Allah menawarkan amanah ini kepada langit dan bumi, tetapi mereka
menolak karena takut tidak kuat menanggung bebannya dan pada akhirnya amanah tersebut
diterima oleh manusia meskipun secara inplisit maupun eksplisit banyak di
antara ummat manusia yang berlaku munafik (hipokrit) dalam menjunjung
nilai-nilai sakral bersama Tuhannya.
Pelaksanaan perjanjian moral dari sang
makhluk bernama manusia bersama Khaliqnya merupakan sebuah inidikasi adanya
kematian setelah kehidupan, inilah sebuah fungsi keberagamaan seseorang dan
bahkan agama yang akan memerankan sejumlah fungsinya dijadikan sebagai
barometer dalam menggapai kemanusiaan hakiki. Akan tetapi ketidakberdayaan,
atau dalam “konteks ketidakmungkinan” menunjuk pada sebuah kenyataan dan akan
bermuara pada sebuah kelemahan, penderitaan, dan bahkan kematian sekalipun yang
merupakan eksistensi makhluk hidup. Sebagian orang-orang orientalis seperti
halnya Max Weber menganggap kematian sebagai titik kritis dan titik kritis ini,
hanya sebagai “masalah makna” saja. Mengapa saya sakit? Mengapa saya harus mati?
Mengapa sang kekasih mati dengan teragis di masa remaja yang belum terpuaskan? Mengapa
orang-orag muda yang berbudi luhur lebih dahulu mati sedangkan orang-orang
jahat berkembang subur bagaikan pohon beringin? yang pada akhirnya ada aspek
yang tidak membahagiakan dalam kondisi kemanusiaan, padahal hanya seorang
manusia sebagai makhluk yang dianggap mampu mengemban amanah-Nya ketimbang
makhluk-makhluk lainnya? Jawabannya adalah jika sebuah norma dan tujuan yang
kelak akan mendatangkan kesulitan bagi kemanusiaan dibenarkan dengan ideologi
kemanusiaan dalam segala aspeknya, maka kesialan dan frustasi akan memiliki
makna yang terakhir. Kehidupan dapat dianggap memiliki makna, manakala makna
itu sendiri mampu mentransendensikan pengalaman empiris dalam situasi “saat ini
dan di sini”. Situasi “di sini dan saat ini” akan menjadi bermakna apabila
disesuaikan dengan dunia di luar kita (beyond) atau dengan bahasa agama
disebut dengan hari akhir (yaumul akhir).[3]
Berbicara kematian berarti kita membahas
persoalan masa depan kendatipun kematian tidak berarti jauh dari kenyataan kekirian
dan sekarang sebagaimana angan-angan yang kita bayangkan bersama. Sikap
terhadap masa depan di atas biasanya beragam, bergantung pada pangkal tolak dan
sudut pandang masing-masing, ada yang beranggapan distopia dan pasimistis
sampai kepada yang optimistis utopia. Sikap yang pertama lebih banyak dibayangi
oleh kecemasan dan ketakutan, sedangkan sikap yang kedua lebih banyak menaruh
perhatian sekaligus harapan.
Kematian merupakan fenomena alam yang paling
jelas dan kuat bagi semua makhluk hidup, dikatakan jelas dan kuat karena semua
yang hidup pasti akan mati. Kematianlah kilas Will Durant dalam “The Sotry
of Civilization” merupakan cikal bakal tumbuhnya agama-agama di dunia. Bisa
jadi kalau tidak ada kematian Tuhan tidak akan pernah terwujud dalam benak
kita.[4]
Selain kematian merupakan fenomena alam juga merupakan fitrah manusia
yang membuat diri manusia berkeinginan untuk berlaku suci dan secara kodrati
lebih condong kepada kebaikan dan kebenaran (hanief). Secara fungsional
yang membuat manusia berkedudukan paling tinggi bila dibandingkan dengan
makhluk-makhluk yang lainya terletak pada kemampuan manusia memformat fenomena
yang ada melalui fitrah dalam kerangka nilai-nilai qudsiyah yang diserap untuk diaplikasikan
menuju tatanan ideal atau dengan kata lain terbentuknya tatanan masyarakat
madani (civil society).
1.
Apa yang dimaksud dengan kematian ?
2.
Adakah nilai-nilai paedagogis dalam kematian ?
Sebagai acuan dasar dalam pembahasan berikutnya, saya memandang perlu
untuk membatasi ruang lingkup istilah yang nantinya akan terkait dengan uraian
mendatang.
Kematian asal kata dari “mati” atau “maut” dalam bahasa arabnya ditambah
dengan awalan “ke” dan akhiran “an” yang berarti terpisahnya jiwa (ruh)
dengan raga (badan) setelahnya kehidupan.
WJS. Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengartikan nilai dengan harga, seperti nilai harga satu kilogram gula sama
nilainya dengan harga satu kilogram gula tersebut.[5]
Paedagogis berasal dari bahasa Yunani “Paedagogie” yang berarti
pendidikan. Ramayulis seorang pakar pendidikan menginterpretasikan pendidikan
sebagai suatu bentuk bimbingan yang diberikan kepada anak didik.[6]
Sedikit berbeda dengan pendapat di atas bahwa yang dimaksud dengan pendidikan sesuatu
menyangkut pengalaman dalam berbagai macam bentuknya, anak mendidik orang
tuanya, murid mendidik gurunya, anjing mendidik tuannya. Dalam penegertian yang
lebih luas kehidupan adalah pendidikan dan kehidupan adalah pendidikan.[7]
Interpretasi di atas, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan paedagogis sama
artinya dengan pendidikan. Oleh karenanya yang dimaksud dengan nilai-nilai
paedagogis sama dengan nilai pendidikan itu sendiri. Menurut kaum idealis bahwa
yang dimaksud dengan nilai-nilai pendidikan itu adalah sebuah penglahiran
(cetusan) dari sebuah kerangka atau sistem yang kekal dan abadi yang memiliki
nilai dalam dirinya sendiri.[8]
Oleh karena pembahasan kematian adalah sesuatu yang bersifat semu dan
pengalaman teransenden, pada akhirnya akan sampai pada titik temu dalam kata
percaya atau tidak? Faham seorang yang beragama tidak akan bertemu dengan orang
yang menganut faham materialisme dan naturalisme. Faham aliran ini menganggap bahwa
sesuatu yang nyata atau primer hanyalah materi semata. Kesadaran akal, atau
perasaan yang terungkap dalam bahasa hanyalah refleksi dari materi semata. Begitu
juga dengan faham naturalisme bahwa realitas adalah dunia empiris dan raelitas
itu hanya dapat dipahami hanya lewat sains yang bisa memberikan interpretasi
mengenai dunia secara memuaskan (hedonistis).
Sementara agama mempunyai dunia yang supra natural. Tuhan umpamanya,
adalah sesuatu yang transenden, yang berbeda dengan alam. Bahkan Tuhan sendiri dipercayai
sebagai pencipta alam dan hal lain yang bersifat ghoib seperti alam rohani dan
kematian. Tuhan, kematian, surga, neraka, dan hari kiamat, bukan bagian dari
pengalaman empiris. Secanggih apapun bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi yang
telah dimiliki oleh seseorang tidak akan mampuh menyediakan alat untuk
membuktikannya, kecuali dengan metode keimanan sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur’an
Surat Al-Baqarah Ayat 3 : “Mereka yang beriman kepada yang ghaib,
melaksanakan shalat, dan menginfakkan sebagian rizqi yang kami berikan kepada
mereka”.
Agama pada umumnya tidak terkecuali Islam, mempercayai kepada sesuatu yang
bersifat ghaib, seperti; Tuhan, wahyu, kiamat (mati), hari akherat, malaikat,
setan, surga, dan neraka. Itu semua menunjukkan makna bahwa kehidupan ini
merupakan sebuah turnamen untuk meraih piala perlombaan yang berupa surga
(kesenangan). Oleh karenanya dalam Islam kita dianjurkan untuk memperbanyak
bekal atau melatih diri untuk berlaga di arena pertandingan dan sebaik-baiknya persiapan
atau bekal adalah taqwa.
[1] Ahmad Ludjito, Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka
Pelajar, Semarang,
1996, h. 99.
[2] QS. 33: 72.
[3] Thomas E O’dea, Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal,
Solidaritas Gadjahmada, Yogyakarta, 1994, h.
3-11.
[4] Komarudin Hidayat, Psikologi
Kematian Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme, Mizan, Bandung, 2006, h. Viii.
[5] WJS. Poerwadarminta, Kamus
Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, 1984, h. 677
[6] Ramayulis, Ilmu Pendidkan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 1994, h. 1
[7] A. Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam, Rosdakarya, Bandung, 1995, h. 5
[8] HM. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1994, h. 149